A. Definisi Dakwah
Kata dakwah
berasal dari bahasa Arab dengan asal kata (ﺩﻋا-ﻴﺩﻋﻮ) yang dalam bentuk mashdarnya ﺩﻋﻮﺓ mempunyai arti ajakan, seruan, panggilan, atau
undangan.[1]
Sedangkan menurut Istilah, dakwah ialah segala usaha dan kegiatan yang sengaja
berencana dalam bentuk sikap, ucapan dan perbuatan yang mengandung ajakan dan
seruan baik langsung atau tidak langsung, ditujukan kepada orang perorangan,
masyarakat atau kelompok masyarakat agar tergugah jiwanya, terketuk hatinya
ketika mendengarkan perintah dan peringatan ajaran Islam yang kemudian menghayati,
menelaah dan mempelajari untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
H.M. Arifin memberikan definisi bahwa:
“Dakwah adalah sesuatu kegiatan
ajakan baik dalam bentuk lisan, tulisan, tingkah laku dan sebagainya yang
dilakukan secara sadar dan berencana dalam usaha mampengaruhi orang lain baik
secara individu maupun secara kelompok, agar supaya timbul dalam dirinya suatu
pengertian, kesadaran, sikap penghayatan serta pengalaman terhadap ajaran agama
sebagai massage yang disampaiakan
kepadanya dengan tanpa adanya unsur-unsur paksaan.[2]
Sedangkan
Menurut Syeh Ali Mahfudz dalam Hidayat Al-Mursyidin, sebagaimana yang dikutip
oleh Malik Idris bahwa dakwah adalah:
ﺤﺙاﻠﻨﺎﺲﻋﻟﻰاﻟﺧﻴﺮﻮاﻟﻬﺩﻱﻮاﻷﻤﺮﺒﺎﻟﻤﻌﺮﻮﻒﻮاﻟﻨﻬﻲﻋﻦﺍﻠﻤﻨﻜﺮﻠﻴﻔﻮﺰﻮﺍﺑﺳﻌﺎﺪﺓاﻟﻌﺎﺠﻞﻮاﻷﺠﻞ[3]
“Mendorong
manusia untuk berbuat kebajikan dan petunjuk, meyeruh mereka untuk berbuat
kebaikan dan mencegah mereka dari berbuat mungkar agar mendapat kebahagiaan
dunia dan kebahagiaan akhirat”.[4]
Imam
Al-Gazali dalam bukunya Ma’Allah memberikan definisi bahwa dakwah adalah
program pelengkap yang meliputi semua pengetahuan yang dibutuhkan manusia untuk
memberi penjelasan tentang tujuan hidup serta mampu membedakan mana yang haq
dan mana yang bathil.[5]
Sedangkan dakwah menurut pandangan Wahdah Islamiyah adalah mengajak manusia
untuk berislam dengan baik dengan pendekatan persuasif, pengenalan dan pengetahuan
yang menyeluruh.
Isyarat-isyarat
yang dimaksudkan dalam definisi dakwah mengarah pada keseriusan menjalankan
tugas suci, dimana kegiatan yang dilakukan harus sistematis, karena segala
pekerjaan dalam aktivitas dakwah selalu dilihat dari siapa pelakunya, sehingga
aktivitas dakwah itu benar-benar muncul dari sebuah pemahaman.[6] Oleh karenanya, dakwah merupakan kegiatan
mengajak manusia kejalan yang telah di gariskan oleh Allah baik secara
perorangan maupun secara kolektif, dengan penuh kesadaran yang di rencanakan
secara sistematis demi mencapai tujuan hidup manusia yang lebih baik, dunia dan
akhirat.
B. Subjek, Objek dan Tujuan Dakwah
1. Subjek Dakwah
Subjek dakwah
adalah pelaksana dakwah yang beragama Islam, baik laki-laki maupun perempuan
bagi mereka yang memiliki kemampuan untuk mengajak dan memberikan materi dakwah
kepada orang lain. Kewajiban ini seperti yang telah di gariskan oleh Allah SWT.
dalam QS. Ali-Imran (3): 110:
öNçGZä.
uöyz
>p¨Bé&
ôMy_Ì÷zé&
Ĩ$¨Y=Ï9
tbrâßDù's?
Å$rã÷èyJø9$$Î/
cöqyg÷Ys?ur
Ç`tã
Ìx6ZßJø9$#
tbqãZÏB÷sè?ur
«!$$Î/
3 öqs9ur
ÆtB#uä
ã@÷dr&
É=»tGÅ6ø9$#
tb%s3s9
#Zöyz
Nßg©9
4 ã.cqãYÏB÷sßJø9$#Nßg÷ZÏiB
ãNèdçsYò2r&ur
tbqà)Å¡»xÿø9$#
Terjemahnya:
“Kamu
adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli
kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang
beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”.[7]
Subjek dakwah
seperti yang diisyaratkan dalam surat Ali Imran di atas paling tidak memiliki;
sikap simpatik dan berperilaku keteladanan serta memiliki kepribadian yang
mengesankan.
Hamzah Yakub dalam
bukunya Publistik Islam, Teknik Dakwah
dan Lidership; menjelaskan bahwa seorang subjek dakwah paling tidak
memiliki:
“(1) Pemahaman Al-Qur’an dan
Sunnah Rasul sebagai pedoman dakwah; (2) Memiliki pengetahuan tentang
pendidikan ajaran Islam, (Tafsir, Hadits dan Sejarah Kebudayaan Islam); (3)
Memiliki pengetahuan yang menjadi alat kelengkapan dakwah (metode, psikologi,
antropologi, sosiologi); (4) Memahami bahasa objek dakwah (disamping retorika
dan kemampuan menjelaskan materi), (5) Penyantun dan lapangdada; (6) Berani
kepada siapapun dalam menyatakan dan mempertahankan kebenaran; (7) Memberi contoh
dalam setiap kebajikan sehingga dapat singkron antara perkataan dan perbuatan;
(8) Berakhlak mulia (tidak sombong, jujur, tawađđu, rendah hati, murah senyum);
(9) Memiliki ketahanan mental yang kuat disamping optimis keberhasilan yang
akan tercapai; (10) Berdakwah karena Allah tanpa mengharapkan imbalan dan upah
sedikitpun, (11) Mencintai tugas kewajiban dan tidak gampang meninggalkan tugas
sebagai penyeruh dakwah.”[8]
Oleh karenanya
seorang pelaku dakwah (da’i ) yang menjadi simbol moral harus memiliki kompetensi seperti di atas agar
memudahkan kemulusan dan efektifitas komunikasi dakwah.
2. Objek Dakwah
Objek dakwah
adalah setiap orang yang dapat dijadikan sasaran pesan dakwah. Dakwah tidak
hanya dilakukan pada masyarakat awam, namun kegiatan dakwah disampaikan kepada
seluruh manusia dan umat Islam pada khususnya yang diawali dari diri sendiri (‘ibda’ū bi nafsiy) sebagai langkah awal
selanjutnya keluarga dan siapa saja yang menjadi sasaran komunikasi dapat
dikatakan sebagai objek dakwah dengan kapasitas dan tipologi yang berbeda-beda.
Imam Al-Gazali
membagi umat manusia yang menjadi objek dakwah ke dalam 3 golongan: (1) Kaum
awam, dengan daya akalnya yang sederhana memiliki cara berfikir yang sederhana
sekali, sehingga mereka memiliki cara berfikir yang sederhana pula. Mereka
memiliki sifat yang lekas percaya dan penurut, sehingga golongan ini harus dihadapi
dengan sikap memberi nasehat dan petunjuk (al-maw
‘izah); (2) Kaum pilihan (Ial-khawwas),
yakni kaum yang memiliki daya akal yang kuat dan mendalam. Kemampuan nalar
dan keilmuan mereka cukup memadai bahkan sudah mengerti ajaran Islam, sehingga
mereka harus didekati dengan sikap menjelaskan hikmah-hikmah, dan (3) Kaum yang
suka melawan dan bahkan menjadi musuh dan penengkar (ahl al-jadal), sehingga pendekatan yang digunakan pada golongan ini
adalah dengan cara Al-Mujādalah.[9]
Sedangkan M.
Arifin membagi masyarakat yang menjadi objek (sasaran) dakwah sebagai berikut:
“(1)
Dilihat dari segi sosiologis, berupa masyarakat terasing, pedesaan, kota besar
dan kecil serta masyarakat dari daerah marginal
di kota besar, (2) dilihat dari segi struktur kelembagaan, berupa masyarakat,
pemerintah dan keluarga, (3) dilihat dari segi sosia cultural berupa golonga priyayi, abangan dalam masyarakat di
Jawa, (4) dilihat dari segi tingkat usia, berupa golongan anak-anak, remaja dan
orang tua, (5) dilihat dari segi okupasional
(profesi atau pekerjaan), berupa golongan petani, pedagang, seniman, buruh,
pegawai negeri (administrator), (6) dilihat dari segi tingkat hidup sosial
ekonomi, berupa golongan orang kaya, menengah dan miskin, (7) dilihat dari segi
jenis kelamin (sex), berupa golongan wanita dan pria, (8) dilihat dari segi
khusus berupa golongan mayarakat tuna susila, tuna wisma, tuna rungu, tuna
karya, nara pidana dan sebagainya.”[10]
Secara singkat,
yang menjadi objek (sasaran) dakwah adalah seluruh manusia yang memiliki akal
sehat serta berada dalam kehidupan bermasyarakat dengan tipologi dan strata
yang berbeda-beda, sehingga metode pendekatan di sesuaikan dengan kadar objek
dan tujuan dakwah.
3. Tujuan Dakwah
Kegiatan manusia
yang berhasil adalah kegiatan yang mempunyai planning (perencanan) yang matang dan kegiatan yang mempunyai
tujuan, dengan cara dan metode tersendiri dalam pencapaiannya.
Dakwah adalah
merupakan salah satu bentuk kegiatan manusia, harus direncanakan sebelumya
serta menentukan sasaran dan tujuan yang ingin dicapai, sehingga kegiatan yang
dilakukan dapat terorganisir dengan baik dan mencapai sasaran. Seluruh
rangkaian dan acuan yang telah diorganisir secara baik dalam pelaksanaan dakwah
tersebut haruslah dipenuhi demi mendapatkan hasil yang maksimum dan memuaskan. Di
antara unsur yang terpenting dalam dakwah adalah menentukan tujuan sasaran
dakwah.
Tujuan dakwah
terbagi dalam dua bagian yaitu:
a) Tujuan dakwah secara
umum (major objective) yaitu sesuatu
yang hendak dicapai dalam suatu aktivitas dakwah. Tujuan umum dakwah
sebagaimana yang telah disinggung pada definisi dakwah di atas yaitu:
“Mangajak
umat manusia (meliputi orang mukmin maupun orang kafir atau musyrik) kepada
jalan yang benar dan di ridhoi Allah SWT., sehingga dapat mencapai kebahagiaan
hidup di dunia dan kehidupan di akhirat.”[11]
b) Tujuan dakwah secara
khusus (minor objective) yaitu
perumusan tujuan sebagai perincian dari pada tujuan umum dakwah yakni sebagai
berikut:
(1) Mangajak umat manusia
yang sudah memeluk Islam untuk selalu meningkatkan ketaqwaannya kepada Allah SWT.,
(2) Membina mantal agama
Islam bagi kaum yang masih muallaf dan
(3) Mendidik dan
mengajarkan kepada anak-anak agar tidak menyimpang dari fitrahnya.[12]
Dari
penjabaran di atas, dapat dipahami bahwa tujuan dakwah adalah mengajak umat
manusia baik yang muslim maupun yang non muslim (manusia secara kaffah) kejalan benar yang di ridhoi
Allah SWT. dalam mengarungi kehidupannya,
dalam arti menyelamatkan manusia dari kesesatan, kebodohan, kemiskinan dan
keterbelakangan sehingga tujuan dakwah diarahkan pada usaha mempertemukan fitrah manusia dengan Islam atau mengingatkan
manusia untuk berbuat baik. Oleh karena itu untuk mencapai tujuan dakwah
tersebut, pelaku dakwah harus memiliki strategi dan penguasaan dalam menggunakan
media.
C. Strategi Dakwah
Strategi dakwah adalah metode siasat, taktik atau
manuver yang dipergunakan dalam aktivitas dakwah.[13]
Asmuni menambahkan, strategi dakwah yang dipergunakan dalam usaha dakwah harus
memperhatikan beberapa hal, antara lain: 1) Azas filosofi, yaitu azas yang membicarakan
tentang hal-hal yang erat hubungannya dengan tujuan yang hendak dicapai dalam
proses dakwah; 2) Azas psikologi, yaitu azas yang membahas tentang masalah yang
erat hubungannya dengan kejiwaan manusia. Seorang da’i adalah manusia, begitu
juga sasaran atau objek dakwah yang memiliki karakter kejiwaan yang unik,
sehingga ketika terdapat hal-hal yang masih asing pada diri mad’u tidak
diasumsikan sebagai pemberontakan atau distorsi terhadap ajakan; 3) Azas
sosiologi, yaitu azas yang membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan
situasi dan kondisi sasaran dakwah, misalnya politik masyarakat setempat,
mayoritas agama di daerah setempat, filosofi sasaran dakwah, sosio-kultur dan
lain sebagainya, yang sepenuhnya diarahkan pada persaudaraan yang kokoh,
sehingga tidak ada sekat diantara elemen dakwah, baik kepada objek (mad’u) maupun kepada sesama subjek
(pelaku dakwah).
Dalam mencoba memahami keberagamaan masyarakat, antara
konsepsi psikologi, sosiologi dan religiusitas hendaknya tidak dipisahkan
secara ketat, sebab jika terjadi akan menghasilkan kesimpulan yang fatal.[14]
4) Azas kemampuan dan keahlian (achievement
and profesional), yaitu azas yang lebih menekankan pada kemampuan dan
profesionalisme subjek dakwah dalam menjalankan misinya. Latar belakang subjek
dakwah akan dijadikan ukuran kepercayaan mad’u;
5) Azas efektifitas dan efisiensi, yaitu azas yang menekankan
usaha melaksanakan kegiatan dengan semaksimal mungkin sesuai dengan planning yang telah ditetapkan sebelumnya.
Seluruh azas yang dijelaskan di atas termuat dalam
metode dakwah yang harus dipahami oleh pelaku dakwah. Dimana Istilah metode atau methodos (Yunani) diartikan sebagai rangkaian, sistematisasi dan rujukan tata cara yang sudah dibina berdasarkan
rencana yang matang, pasti dan logis.[15]
Ada beberapa
metode dakwah yang biasa digunakan oleh para pelaku dakwah:
- Metode Dakwah Qur’ani
Dalam kegiatan
dakwah, seorang subjek dakwah harus mampu mencari metode yang sesuai untuk
digunakan, sehingga tujuan dakwah dapat tercapai.
Metode umum dari
dakwah qur’ani adalah memahami dan menguasai tafsir secara etimologi, sehingga dengan metode kajian pelaku dakwah dapat
mengetahui keistimewaan dari ayat-ayat Al-Qur’an yang menjadi pedoman dakwah,[16]
seperti yang digambarkan dalam Q.S. Al-Nahl
(16) : 125:
äí÷$#
4n<Î) È@Î6y y7În/u ÏpyJõ3Ïtø:$$Î/ ÏpsàÏãöqyJø9$#ur ÏpuZ|¡ptø:$# ( Oßgø9Ï»y_ur ÓÉL©9$$Î/ }Ïd ß`|¡ômr& 4 ¨bÎ) y7/u uqèd ÞOn=ôãr& `yJÎ/ ¨@|Ê `tã ¾Ï&Î#Î6y ( uqèdur ÞOn=ôãr& tûïÏtGôgßJø9$$Î/
Terjemahnya:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah
dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari
jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”[17]
Pada ayat di atas,
terdapat tiga thariq (metode) dakwah
yang secara tegas yang diberikan oleh Allah SWT. kepada Nabi Muhammad SAW.
dan pelaku dakwah lainnya, yaitu: bi al-hikmah, maw‘izah al hasanah dan mujādalah.[18]
1.
Bi al-hikmah
Dakwah bi al-hikmah adalah pendapat atau uraian yang benar dan
memuat alasan-alasan atau dalil-dalil yang dapat menampakan kebenaran dan
menghilangkan keraguan. Konseptualisasi
hikmah merupakan perpaduan antara ilmu dan amal yang melahirkan pola kebijakan
dalam menyikapi orang lain dengan menghilangkan segala bentuk yang mengganggu.
Pemaknaan
kata hikmah menurut M. Husain adalah
meletakkan kebenaran suatu perkara sesuai pada tempatnya. Sedang sifat al-hikmah itu hadir dari keterpaduan Al-Kibrah (Pengetahuan), Al-Mirā’ (Latihan) dan At-Tajribāh (Pengalaman). Jika ketiganya
bersemayam dalam diri maka akan terbentuk jiwa yang bijaksana.[19]
Menurut Ibnu
Rusyd, dakwah bil hikmah adalah dakwah dengan pendekatan
substansi yang mengarah pada falsafah dengan nasehat yang baik, retorika yang
efektif dan populer.[20]
Dari pendapat
di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dakwah dengan hikmah pada intinya
merupakan penyeruan atau pengajakan dengan cara bijak, filosofis, argumentatif,
adil, penuh kesabaran dan ketabahan. Hal ini dimaksudkan agar pelaku dakwah
memperhatikan situasi dengan menggunakan pola relevan dan realistis
sesuai tantangan dan kebutuhan.
2.
Maw’izah al-hasanah
Dakwah maw’izah al-hasanah adalah metode
dialog-dialog/pidato yang digunakan oleh komunikator, dimana objek dakwah dapat
memahami dan menganggap bahwa pesan yang disampaikan adalah sesuatu yang
bermanfaat dalam kehidupannya. Konsep maw’izat
sering diartikan sebagai tutur-kata yang baik dan nasihat yang baik, sehingga
dakwah yang ditempuh dengan menggunakan metode maw’izat al-hasanah orientasinya lebih pada menjawab kebutuhan
objek dakwah yang mendesak. Dengan demikian dakwah al-maw’izat al-hasanah jauh dari sikap egois, agitasi emosional dan
atau apologi. Cara dakwah ini lebih spesifik ditujukan kepada kelompok mad’u yang kurang mampu menganalisa
maksud materi.
3.
Mujādalah
Dakwah mujādalah adalah cara berdiskusi dan
berdebat dengan lemah lembut dan halus serta menggunakan berbagai upaya yang
mudah, sehingga dapat membendung hal-hal yang negatif dari objek dakwah. Konsep
tersebut merupakan kerangka upaya kreatif
dan adaptif dari pelaku dakwah dalam
menjalankan misi dakwahnya. Antara moral etik keagamaan dan etik sosial-historis yang berjalan
ditengah-tengah masyarakat dalam arti bingkai keagamaan tidak dapat begitu saja
terlepas dari doktrin tradisi dan kebiasaan masyarakat dalam pola
pelaksanaannya.
Metode inilah yang di isyaratkan oleh
Allah dalam QS. Al-Nahl ayat 125, akan tantangan zaman yang kelak dihadapi oleh
para pelaku dakwah, dimana bukan hanya dengan orang kafir atau orang yang tidak
mau mendengarkan seruan ajaran Islam sebagai bentuk ketidak pahaman dan reaksioner dari mad’u, namun tantangan ini terkadang datang dari sesama pelaku
dakwah, sehingga Al-Qur’an mengajak kepada umat manusia terutama pelaku dakwah untuk
selalu berdiskusi dengan baik dalam memecahkan masalah.
Adalah hal yang wajar jika manusia menginginkan
kemenangan dalam pertunjukan demi mempertahankan kebesaran dan kehormatan,
lebih lagi ketika sampai pada kebenaran. Terkadang metode tersebut dalam
Al-Qur’an diisyaratkan sebagai perintah berjihad demi agama Allah, karena misi
dakwah bukan karena beban namun merupakan kewajiban yang harus terwujudkan.[21]
Dalam metode ini ada watak dan suasan yang khas, yakni
bersifat terbuka dan transparan, konfrontatif
dan reaksionis, namun pelaku dakwah
harus tetap berpegang teguh pada karakteristik dakwah itu sendiri. Berdebat dan
berdiskusi, bukan ngotot-ngototan mempertahankan kesalahan karena menjaga
reputasi dan integritas namun berdebat mencari solusi terbaik.
- Metode Dakwah Rasulullah
Ada beberapa fase yang dilalui oleh Rasulullah dalam
menjalankan risalahnya. Dilihat dari langkah-langkah dan sudut pandang
pengembangan dan pembangunan masyarakat, terdapat tiga posisi penting fungsi/peran
Rasulullah SAW.: Pertama beliau
sebagai peneliti masyarakat. Posisi dan peran tersebut dilakukan ketika menjadi
seorang pedagang sehingga beliau dapat mengetahui karakter masyarakat dari
berbagai bangsa-bangsa. Kedua, Rasul
sebagai pendidik umat (social educator).
Adapun sistem pembinaan dan pendidikan rasul adalah sistem kaderisasi, dimana
pendidikan yang dilakukan adalah pembinaan mental sahabat dan keluarganya
dengan penanaman aqidah yang benar. Ketiga, Rasulullah sebagai negarawan dan
pembangun masyarakat, hal ini tercermin dengan keberhasilan Rasul membangun
Madinah. Pada masa awal perkembangan Islam, masyarakat Islam menampilkan diri
sebagai masyarakat alternatif, karakter paling terpenting yang ditampilkan oleh
umat Islam saat itu adalah kedamaian dan kasih sayang.
Dari uraian di atas, secara singkat dapat disimpulkan
beberapa prinsip dan metode yang dilakukan oleh Rasul: Pertama, Mengetahui medan (mad’u)
melalui penelitian dan analisis. Kedua, melalui
perencanaan pembinaan, pendidikan, pembangunan dan pengembangan masyarakat. Ketiga bertahap, diawali dengan cara
diam-diam (marhalah sirriyah)
kemudian cara terbuka (marhalah alaniyah)
diawali dari shahabat, keluarga dan teman dekat kemudian masyarakat secara
umum. Keempat melalui cara dan
strategi hijrah, yakni menghindarkan situasi yang negatif meraih suasana yang
positif. Kelima, melalui syariat
ajaran dan pranata Islam. Keenam, melakukan
kerjasama dengan komponen yang dapat mendukung dan membantu mensukseskan
kegiatan dakwah. Ketujuh, melalui
cara akomodatif, toleran dan saling
menghargai. Kedelapan, menjunjung nilai-nilai
kemanusiaan, kebebasan dan demokrasi. Kesembilan,
melalui pendekatan misi, maksudnya adalah mengirim personil untuk
menyampaikan risalah. Kesepuluh adalah menggunakan bahasa kaumnya, sesuai
kemampuan pemikiran masyarakatnya (‘ala
qadri uqulihim) dan kesebelas adalah
kolaborasi petunjuk Surat Al-Nahl ayat 125 seperti yang dijelaskan di atas.
- Strategi Dakwah Kontemporer
Dewasa ini pelaku dakwah semakin dituntut agar ikut terlibat
secara aktif dalam memecahkan berbagai macam problem yang dihadapi umat.
Banyaknya model dan lembaga dakwah yang ikut andil dalam perjuangan menyebarkan
ajaran Islam, menambah keyakinan umat Islam akan keberhasilan dakwah. Keberagaman
seseorang diharapkan tidak hanya sekedar lambang keshalehan atau Islam berhenti
sekedar disampaikan dalam khotbah saja, melainkan secara strategi konsepsional
menunjukan cara-cara yang paling efektif dalam memecahkan masalah.
As-Syaikh Sayyid Sabiq salah seorang tokoh dakwah yang
dikenal dekat dengan Imam Hasan Al-Banna, melontarkan beberapa prinsip dan
ketentuan yang dipandang urgen dalam kepentingan dakwah masa kini. Dalam
pandangannya, kebangkitan yang menjanjikan kebaikan dalam aktivitas dakwah akan
tercapai dengan hanya membutuhkan tiga hal: (1) Membutuhkan kesadaran yang
sempurna; (2) Pengorganisasian, dan (3) Pemimpin (qiyadah) yang amanah.[22]
Dewasa ini dalam rangka mewujudkan nilai-nilai Islam dalam
kenyataan sosio-kultur, strategi
dakwah kontemporer yang merupakan
langkah operasional untuk mencapai suatu tujuan yang dikehendaki,
pelaksanaannya perlu dimodifikasi dengan pola sebagai berikut:
1. Fact Finding
Fact finding
adalah pencarian fakta, artinya sebagai suatu kegiatan mencari data faktual
yang pada gilirannya akan dilaksanakan dalam rangka pencapaian tujuan. Oleh
karena itu sebelum diadakan penaburan yang sesuai dengan kadar untuk medapatkan
kualitas yang memuaskan, maka terlebih dahulu berupaya untuk mendapatkan
informasi menyangkut masalah-masalah yang terjadi pada objek dakwah. Informasi
yang didapatkan adalah informasi yang bersifat faktual dan logis berkaitan
dengan kondisi masyarakat.
Dengan adanya informasi yang ditemukan berkaitan
dengan kondisi masyarakat, akan mudah menyusun sistematika dakwah, memulai dan
mengarahkan objek sesuai dengan tujuan dakwah.
2. Perencanaan dakwah (pleanning peaching)
Perencanaan pada umumnya dipandang sebagai suatu
metode untuk menggariskan tujuan (as a
method for delineating) dan cara-cara untuk mencapainya (ways of achievingthem).
Rosyad Sahaleh dalam bukunya “Manajemen Dakwah Islam” yang dikutib oleh Muhammad Munir, megatakan
bahwa:
“Perencanaan dakwah adalah
proses pemikiran dalam pengambilan keputusan yang matang dan sistem mengenai
tindakan-tindakan yang akan dilakukan pada masa yang akan datang dalam rangka
penyelenggaraan dakwah".[23]
Bertitik tolak dari pengertian di atas, jelaslah bahwa
penyusunan rencana pelaksanaan dakwah tidak terlepas dari tujuan yang hendak
dicapai berdasarkan strategi yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, seluruh
proses perencanaan mulai dari pengumpulan informasi sampai pada penyusunan,
norma-norma yang hidup di masyarakat tidak dapat terabaikan.
3. Aktualisasi (Pelaksanaan
Dakwah)
Pelaksanaan dakwah yang dimaksudkan di sini adalah
keseluruhan usaha, cara pendekatan (approach)
yang dilakukan oleh subjek terhadap objek dakwah dengan menggunakan media
yang telah direncanakan sebelumnya.
Dalam pelaksanaan dakwah pada suatu lokasi/wilayah, harus
memperhatikan set timing atau
penetapan waktu yang telah ditentukan. Adanya ketepatan pelaksanaan sesuai
dengan planning (perencanaan) yang
telah ditetapkan, dapat memberikan signal akan keberhasilan dakwah.
4. Controlling and
Evaluating (Pengawasan dan Evaluasi)
a.
Controlling (pengawasan)
Controlling adalah
merupakan salah satu fungsi organik managerial. Oleh George R. Terry dalam
bukunya Principles Of Management
sebagaimana yang dikutib oleh H. Ibrahim Lubis, mendefinisi pengawasan sebagai proses
untuk mendeterminasi apa yang akan
dilaksanakan, mengevaluasi pelaksanaan dan perlu menerapkan tindakan-tindakan
korektif sedemikian rupa sehigga pelaksanaan sesuai dengan rencana”
Dalam pelaksanaan dakwah, controlling terdiri atas tindakan meneliti, apakah segala sesuatu
tercapai dan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan, ataukah ada
kelengahan dalam pelaksanaannya. Controlling
pada kegiatan dakwah beroperasi pada da’i, materi dakwah, media dan metode
dakwah, serta respon mad’u sebagai penerima pesan.
b.
Evaluasi
Evaluasi dakwah yang dipergunakan di sini adalah
pengukuran dan perbandingan antara hasil-hasil yang nyatanya dicapai (das sein) dengan hasil-hasil yang
seharusnya dicapai (das selon). Antara
keduanya harus sesuai sehingga tidak menimbulkan masalah.
Karena dakwah merupakan suatu proses maka kegiatan
evaluasi harus disesuaikan dengan planning
yang dijadikan rujukan kegiatan dakwah sehingga dalam implementasi strategi
dakwah benar-benar sesuai harapan bersama.
Dr. Sayyid Muhammad Nuh dalam bukunya Strategi Dakwah dan
Pendidikan Ummat memberikan beberapa bentuk strategi dakwah untuk transformasi
umat di antaranya: 1) Memperhatikan prioritas; 2) memulai dakwah dengan
meluruskan pemahaman dan memperdalam kesadaran umat terhadap realitas; 3) menyampaikan
dakwah melalui pemahaman dan praktek yang menyeluruh, sinergis dan seimbang; 4)
menjadikan ridho Allah sebagai tujuan; 5) memahami dan menggunakan hukum sosial;
6) sabar, teguh, dan tenang.[24]
Sedangkan Syaikh Sayyid Sabiq menambahkan, bahwa keterlibatan
pemerintah dalam kegiatan dakwah sangat menentukan keberhasilan dakwah terutama
menjadi solutor ketika terdapat
kendala-kendala teknis di wilayah kerjanya.
D. Tantangan dan Peluang
Dakwah
1. Tantangan Dakwah
Kehidupan manusia di dunia ini tidak luput dari rintangan
yang bersifat internal (dari dalam) maupun yang bersifat eksternal (dari luar).
Begitulah kondisi aktivitas dakwah yang terjadi di tubuh umat Islam dan para
pelaku dakwah dewasa ini.
Tantangan dakwah
dewasa ini dapat dilihat dari berbagi perspektif:
a) Perspektif perilaku (Behavioristic perspective)
Perilaku yang dimaksudkan di sini adalah segenap
tingkahlaku manusia yang diperoleh atau bergantung pada data eksperiment yang
bermakna. Tampaknya sikap dan perilaku (behavior)
masyarakat dewasa ini hampir dapat dipastikan bahwa lebih banyak
dipengaruhi oleh keadaan di sekitarnya. Gambaran budaya melalui terpaan media
dengan berbagai sajian menarik kepada masyarakat telah membawa imbas yang tidak
saja bersifat positif, tetapi dampak negatif merupakan sesuatu yang niscaya.
Berkaitan dengan tantangan dakwah, H. Anwar Arifin
menegaskan bahwa dalam masyarakat industri yang mendewakan sains dan teknologi,
dakwah menghadapi lawan yang tangguh, kecuali jika ilmu dan teknologi diberikan
muatan-muatan agama dengan bobot yang tinggi. Untuk memberikan muatan terhadap
sains dan teknologi, keduanya membutuhkan manusia cerdas, sehingga dengan
kekuatan penalaran dan iman manusia terutama pelaku dakwah dapat mengarahkan
teknologi kearah yang bernilai positif, inilah sesungguhnya kendala yang
dihadapi oleh juru dakwah saat ini, yakni dengan kurangnya penguasaan ilmu dan
teknologi modern yang ternyata itu adalah penunjang kelancaran interaksi di mana
objek dakwah sudah mulai menyeleksi kualifikasi da’i.
b) Perspektif Transmisi (Transmissional perspective)
Dakwah dapat dikatakan sebagai proses penyampaian
atau transmisi ajaran agama Islam dari seorang da’i kepada objek dakwah (mad’u)
agar bersikap dan bertingkahlaku sesuai dengan ajaran agama yang diterimanya.
Untuk dapat ditransmisikan (ajaran agama) kepada
masyarakat yang menjadi objek dakwah, peranan media sangat menentukan meskipun
tetap tidak menafikan faktor-faktor penunjang lainnya. Oleh karena itu seorang
da’i dituntut untuk lebih jitu menentukan media yang akan digunakan pada saat
melakukan dakwah dengan melewati tahapan-tahapan pelaksanaan dakwah.
Dalam kaitannya dengan transmisi ajaran agama kepada
masyarakat dewasa ini, nampaknya pelaku dakwah mendapat tantangan yang tangguh
dan kompleks. Tantang tersebut bukan saja pada minimnya pemilikan umat Islam
atas media komunikasi yang dapat dijadikan media untuk mentransformasikan
ajaran agama, akan tetapi kurangnya kemampuan pada pengelolaan dan pemanfaatan
media informatif.
Secara ideal, pelaku dakwah harus mengembangkan
kecakapan khas dalam menciptakan dan memanfaatkan teknologi informasi, kendati
segala jenis teknologi hadir dengan perangkat ideologi dan kultur dari
peradaban yang melahirkannya.
Dengan berbagai macam perubahan sosial mestinya agama
(dakwah) tampil untuk membantu manusia memahamkan kejadian baru yang sering
sukar dijangkau oleh akal manusia. Karena ketika kemajuan dramatis iptek tidak
lagi sepenuhnya sanggup menjawab masalah-masalah sosial, budaya dan ekonomi
yang ditimbulkannya, maka mau tidak mau orang akan mencari pemecahan melalui
pendekatan agama.
c) Perspektif Interaksi (Interactional persepective)
Tantangan dakwah yang berkaitan dengan iteraksi ini
memberikan signal bahwa manusia dalam kehidupannya tidak dapat saling memahami
jika tidak ada interaksi. Begitulah kondisi dakwah, manakala proses interaksi
tidak efektif maka proses dakwah akan gagal. Hubber Bonner dalam bukunya Social psychologi menyebut interaksi
sebagai suatu hubungan antara dua orang atau lebih dimana tingkah laku sesorang
diubah oleh tingkah laku yang lainnya. Karenanya pengaruh eksternal akan
menggerogoti power internal dengan metode tradisionalnya.
d) Perspektif Transaksional (Transaksional perspective)
Upaya untuk memberikan muatan agama/dakwah terhadap
sains dan teknologi, memerlukan manusia dengan kekuatan penalaran dan iman
dengan jumlah yang besar. Namun harus diakui bahwa di sinilah letak salah satu
kelemahan umat Islam khususnya umat Islam di Indonesia, yaitu rendahnya
penguasaan teknologi informatika. Sehingga kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang berkembang merupakan tantangan dan motivasi bagi umat Islam
khususnya para penyeruh dakwah.
2. Peluang Dakwah
Peradaban informasi yang mendominasi dunia modern dalam
beberapa dekade terakhir ini, telah membawa dampak global dalam berbagai sektor
kehidupan manusia. Dampak positif dan negatif peradaban hampir semuanya dapat
dikaitkan dengan agama, terutama peluang sekaligus tantang dakwah. Segi positif
dari peradaban informasi ini merupakan peluang dakwah, bahkan oleh pihak
agamawan tidak terkecuali Islam telah dijadikan sebagai media pendukung dalam
mengembangkan ajaran agama.
Islam yang selama ini hanya mampu berjalan dengan ke
ikhlasannya untuk menjalankan misi dakwahnya, kini sudah dengan mudah
menyampaikan pesan dakwah keseluruh pelosok nusantara dengan kemajuan
teknologi. Tanpa disadari, pesan yang disampaikan melalui sinetron, memberi
pengaruh besar terhadap kesadaran umat untuk menjalankan ajaran agama, peluang
yang demikian haruslah dimanfaatkan oleh pelaku dakwah.
Dengan demikian, tantangan besar yang dihadapi oleh umat
Islam adalah penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi moderen. Karena dengan
teknologi moderen, banyak hal yang dapat dilakukan untuk membantu tercapainya misi
suci (dakwah). Banyak hal yang selama ini tampak samar bagi para ulama,
akhirnya menjadi terungkap maksud dan kandungannya berkat iptek.
Oleh karena itu, kesiapan pelaku dakwah dalam berbagai hal
seperti yang telah dijelaskan di atas untuk menjawab/mengantisipasi tantangan
adalah sebuah keharusan bagi para pelaku dakwah sehingga ketika terjadi
kemungkinan-kemungkinan yang tidak diprediksi sebelumnya dapat diatasi, bahkan
dijadikan sebagai peluang keberhasilan dakwah.
[1]Zulkifli Mustan, Ilmu
Dakwah (Makassar: Pustaka Al-Zikra, 2005).
h. 2.
[2]H. M. Arifin, Psikologi
Dakwah, Suatu Pengantar Studi (Cet. 6; Jakarta: PT Bumi Aksara, 2004), h. 6.
[3]Syekh
Ali Mahfudz, Hidayat Al-Mursyidin, (Kairo:
Dar al Kitab al-‘Arabiy, 1952), h. 27.
[4]Malik Idris, Strategi Dakwah Kontemporer, (Cet. I; Makassar: Sarwah Pers,
2007), h. 7.
[5]Asgo Muhiddin, Dakwah
dalam Perspektif Al-Qur’an, (Cet. I; Bandung:
Pustaka Setia, 2002), h. 7.
[6]H.
Asep Muhiddin, Metode Pengembangan Dakwah
(Cet. I; Bandung:
Pustaka Setia, 2002), h. 27.
[7]Departemen Agama RI,
Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung:
CV Al-Jumanatul ‘Ali, 2005), h. 65.
[8]Hamzah Yakub, Publisistik
Islam, Teknik Dakwah dan Lidership (Cet. II; Bandung: CV. Diponegoro,
1981), h. 37-39.
[9]Harun Nasution, Filsafat
dan Mistisme dalam Islam (Cet. IX; Jakarta: Bulan Bintang, 1995), h. 45-46.
[10]H. M.Arifin, op. cit., h. 3-4.
[11]Asmuni Syukir, Dasar-Dasar
Strategi Dakwah Islam (Surabaya: Al-Ikhlas, 1983), h. 51.
[12]Gafi Ashari, Pemahaman
dan Pengalaman Dakwah (Surabaya: Al-Ikhlas, 1993), h. 87.
[13]Asmuni Syukir, op. cit., h. 32-33.
[14]Ahmad
Anas, Paradigma Dakwah Kontemporer,
Aplikasi dan Praktisi Dakwah sebagai Solusi Problematikan Kekinian (Cet. I;
Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2006), h. 184.
[15]Onong Uchjana Efendi, Ilmu,
Teori dan Filsafat Komunikasi (Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti, 2003), h. 56.
[16]Muhammad
Husain Fatahullah, Metodologi Dakwah
dalam Al-Qur’an (Cet. I; Jakarta:
Lentera, 1997), h. 39.
[17]Departemen Agama RI, op.
cit., h. 282.
[18]Moh. Ali Aziz, Ilmu
Dakwah (Cet. I; Jakarta:
Kencana, 2004), h. 157.
[19]Muhammad
Husain Fatahullah, op. cit., h. 4-42.
[20]H.
Asep Muhiddin, Metode Pengembangan Dakwah
(Cet. I; Bandung:
Pustaka Setia, 2002), h. 78. Dikutip dari Nurcholish Madjid, Cendekiawan dan Religiusitas Masyarakat, (Jakarta:
Paramadina, 1999), h. 100.
[21]Muhammad
Ali Hasyim, Kepribadian dan Dakwah
Rasulullah dalam Kesaksian Al-Qur’an (Cet. I; Yogyakarta,
Mutiara Pustaka, 2004), h. 75.
[22]Syaik
Abdurrahman Abdul Khaliq, Metode dan
Stategi Dakwah Islam (Cet. I; Jakarta:
Pustaka Al-Kausar, 1996), h. 253.
[23]M.
Munir, Manajemen Dakwah (Cet. I; Jakarta: Kencana, 2006),
h. 97.
[24]Sayyid
Muhammad Nuh, Stategi Dakwah dan Pendidikan
Umat (Cet. I; Yogyakarta: Himam Prisma
Media, 2004), h. 91-150.
Di setiap perbincangan itu hampir selalu terselip kelucuan, baik yang berhubungan dengan nama pribadinya yang diplesetkan menjadi “Habib Berisik” dan “Habib Hoax”, maupun isu skandalnya dengan Virza Husein belakangan ini. Kasus yang terakhir ini, karakter yang mudah terpengaruh oleh arus inilah yang selalu menjadi penyakit bagi masyarakat Indonesia. Mudah gandrung pada sesuatu yang baru, tapi juga mudah meninggalkannya begitu saja. Hal ini diakibatkan oleh.... https://www.itsme.id/habib-rizieq-dan-miskinnya-strategi-dakwah-umat-islam/
ReplyDelete